![]() |
| Raudah (40) bersama tiga buah harinya kini mengisi hari-hari di bawah tenda pengungsian Gampong Meunasah Raya, Pidie Jaya. |
Di atas tanah wakaf Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Raudah (40) terduduk lesu menatap gundukan lumpur yang kini menelan rumah sederhananya. Bencana banjir bandang yang menerjang pada akhir November lalu bukan sekadar menghanyutkan harta benda, melainkan menyisakan trauma yang mengiris hati.
Malam itu, pukul 01.30 WIB, ketenangan Gampong Meunasah Raya berubah menjadi horor. Air bah bercampur material kayu menerjang tanpa peringatan.
Dalam kegelapan total, Raudah harus membuat keputusan cepat. Tanpa sandaran seorang suami, ia menggendong dan menyeret ketiga buah hatinya menuju satu-satunya tempat tertinggi: atap rumah.
Di sanalah, perjuangan yang menguras air mata dimulai. Selama tiga hari tiga malam, Raudah dan ketiga anaknya terjebak di atas atap, terkepung arus deras yang siap menelan mereka kapan saja. Tanpa bantuan, tanpa makanan, dan tanpa kepastian.
"Anak-anak haus, mereka menangis minta minum. Saya tidak punya apa-apa. Saya hanya bisa menampung air hujan dengan kedua telapak tangan saya, lalu meminumkannya ke mulut mereka satu per satu," kenang Raudah dengan suara bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Luka di Atas Luka
Kisah Raudah adalah potret kepedihan yang berlapis. Rumah yang ia tempati saat ini merupakan bantuan dari perangkat desa karena ia tidak memiliki tempat tinggal tetap setelah ditinggal pergi oleh suaminya. Kini, rumah satu-satunya itu pun telah tenggelam sepenuhnya oleh lumpur pekat.
Pasca bencana, penderitaan belum usai. Di bawah tenda pengungsian yang pengap, Raudah masih harus berjuang melawan trauma anak-anaknya yang kini gemetar setiap kali hujan turun. Pakaian yang melekat di badan hanyalah sisa-sisa yang bisa diselamatkan dari timbunan lumpur.
Hingga Minggu, 21 Desember 2025, Raudah masih bertahan di tengah keterbatasan. Tidak ada perabotan, tidak ada simpanan makanan, hanya ada doa yang terus ia panjatkan agar anak-anaknya tetap sehat.
Kisah Raudah adalah pengingat bagi kita semua. Di balik angka-angka kerugian materiil akibat banjir Pidie Jaya, ada seorang ibu yang rela mati demi anaknya, yang kini hanya bisa berharap pada belas kasih para dermawan untuk kembali menyambung hidup dari titik nol.[Riski]

Posting Komentar untuk "Tiga Hari Menantang Maut: Kisah Raudah Meminumkan Air Hujan untuk Anak di Atap Rumah"