
Anak-anak di Pidie Jaya melihat tumpukan lumpur yang terbawa arus banjir bandang pada 26 November 2025 lalu.
NALURINEWS.COM, Meureudu - Kampong Beuringen di Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya kini menjadi saksi bisu kisah paling memilukan pasca-banjir bandang yang menerjang wilayah ini pada 26 November lalu.
Tawa ceria anak-anak yang biasa menghiasi desa, kini sirna, digantikan oleh keheningan dan tatapan mata kosong yang menyimpan duka mendalam.
Di tengah puing-puing rumah yang ambruk, pepohonan tumbang, dan lumpur yang masih menyisakan ketinggian hingga 2 meter, puluhan anak korban bencana terlihat duduk terpaku.
Mereka seolah masih berusaha mencerna tragedi yang telah merenggut rasa aman, ruang bermain, bahkan rutinitas sekolah dan kehilangan orang-orang terkasih.
Kekuatan di Tengah Ketakutan
Ardiansyah, salah satu anak dari Kampong Beuringen, menceritakan kembali detik-detik mencekam saat banjir tiba. "Airnya dahsyat sekali, kami harus naik ke genteng rumah. Takut banget," ujarnya sambil menahan tangis.
Beruntung, sang ayah memberikan kekuatan di tengah kepanikan. "Ayah bilang, 'Sabar, jangan takut. Kita anak Aceh, kita laki-laki.' Kata-kata itu yang menguatkan saya," kenang Ardiansyah.
Namun, harapan anak-anak ini sederhana dan mengharukan: "Kami ingin seperti anak-anak di daerah lain, bisa sekolah. Kami ingin sekolah kami kembali seperti dulu, kami butuh bantuan," pintanya.
Pemulihan Psikologis Mendesak
Para relawan yang bertugas di lokasi melaporkan bahwa kondisi psikologis anak-anak Beuringen masih sangat rentan. Sebagian dari mereka masih sering terperanjat mendengar suara air deras atau bunyi benda jatuh.
"Ada yang tiba-tiba menangis tanpa sebab, ada pula yang hanya memilih diam dan memeluk erat orangtua mereka," celutuk beberapa relawan.
Meskipun bantuan logistik terus mengalir, proses pemulihan trauma (psikologis) anak-anak menjadi tantangan terberat. Pihak desa berharap adanya pendampingan psikososial secara intensif dan khusus, agar luka batin akibat bencana tidak menjadi beban permanen hingga mereka dewasa.
Saat ini, Kampong Beuringen bukan hanya menanti pembangunan fisik. Lebih dari itu, mereka menunggu penyembuhan hati anak-anak yang telah kehilangan keceriaan dalam sekejap.
Tatapan kosong mereka adalah pengingat nyata bahwa bencana tidak hanya merusak alam, tetapi juga meninggalkan jejak trauma yang dalam bagi masa depan generasi bangsa.[Riski]
Posting Komentar untuk "Trauma Menyimpan Luka: Tatapan Kosong Anak-Anak Korban Banjir Bandang Pidie Jaya"